Jalan-jalan ke Kampung Jagalan, Surabaya


Sejak akhir Juli 2016, saya merasa makin kenal kota Surabaya. Kota yang awalnya sebatas "kota tempat tinggal", pelan-pelan bertambah menjadi kota yang menyenangkan dan penuh potensi. Terima kasih untuk kegiatan jalan kaki yang sedang saya geluti bersama SUBWalker dan komunitas lainnya yang memiliki visi sama, seperti C2o Library dengan Manic Street Walkers dan Surabaya Johnny Walker, Anitha Silvia dan Celcea Tifani dengan proyek Pertigaan Map, serta Teropong Pejalan dengan kegiatannya pagi ini.

***

Saya sampai di Hotel Djagalan Raya pukul 7.40 dengan mengendarai ojek online. Perjalanan 9.5 km dari rumah ke tujuan memakan biaya Rp 20.000,-. Sesampai di lokasi yang "tersembunyi" itu, saya melihat 3 orang sudah duduk manis di teras. Salah satu menyapa dan menanyakan apa saya ikut program jalan-jalan. Saya jawab iya, sambil mendekat. Setelah duduk, mas yang menyapa tadi bilang, "Kok muka kamu familiar ya." Ternyata mas yang bernama Indra ini dulu teman kuliah kakak perempuan saya. How small the world is. Pantes muka mas Indra juga familiar.

Dimach, partner di SUBWalker, sampai di Hotel Djagalan Raya sekitar 10 menit selanjutnya. Kami langsung masuk ke area resepsionis dan mengelilingi hotel budget dengan lokasi strategis tersebut. Menurut penjelasan mas Indra, bangunan hotel ini sudah ada dari tahun 1930an. Hotelnya sendiri berdiri tahun 1970an. Saya terkesan dengan teras hotel ini, ceilingnya yang bercorak warna biru, dan tegel kuncinya. Aksen yang manis. Saya langsung membayangkan mengadakan tea party di teras hotel.

Atap hotel
Pigura dengan foto Surabaya Lama banyak dipajang di koridor hotel
Tegel kunci!
Koridor menuju halaman belakang hotel

Satu persatu peserta datang, jumlahnya mungkin hampir 20 orang. Teropong Pejalan sebagai penyelenggara akhirnya membagi peserta ke dalam 2 group. Satu group dipandu oleh mas Zaenal, satu lagi oleh mas Indra. Mereka berdua ini sama-sama berasal dari komunitas SUBCyclist. Sebelum mulai jalan, peserta harus menyetor 3 botol air mineral kosong ke panitia sebagai bentuk komitmen menjaga lingkungan. Kami juga diajak berdoa sebelum 'blusukan' ke kampung di kawasan Jagalan. Fyi, kawasan Jagalan ini terletak sekitar 2 km dari pusat kota Surabaya dan tak jauh dari situ kita bisa menemukan Rumah Sakit Adi Husada, sentra kosmetik Pengampon, Taman Hiburan Remaja, Hi-Tech Mall atau mall gadget terkenal di Surabaya selain WTC dan Plasa Marina, dan wilayah Surabaya Utara yang menyimpan banyak narasi sejarah.

Pagi itu matahari masih agak malu-malu, tapi badan ini sudah berkeringat saja. Surabaya dengan temperatur rata-ratanya yang mencapai 33 derajat Celcius membuat kami harus selalu mengenakan topi, sunblock, atau pelindung kepala/muka lainnya. Beruntung sinar matahari belum terlalu terik, kami bisa santai melihat-lihat suasana perkampungan Jagalan. Dari Jagalan kami berjalan hingga ke Makam Tua Belanda Peneleh atau Makam Peneleh, situs makam yang akses masuknya harus melalui Dinas Pertamanan Kota Surabaya. Disitu group kami berkumpul dan berhenti di rumah produksi Sawoong. Sawoong ini menjual merchandise kota Surabaya dan diproduksi secara privat. Dari Sawoong, kami meneruskan perjalanan ke kampung Peneleh dimana makam di depan rumah adalah hal biasa. Dimach dan saya percaya bahwa makam itu diperuntukkan bagi orang yang tidak mempunyai akses ke pemakaman umum. Saya jadi ingat makam-makam dekat rumah yang ada di Madura tempo hari.



Rumah produksi Sawoong
Tiga bahasa.
Saya jadi ingat lagi kalau dulu doyan nulis aksara Jawa :))

Di perkampungan Surabaya, custom yang berlaku adalah turun dari kendaraan jika ingin dianggap sopan.

Rumah masa kecil Bung Karno di Peneleh 



Salah satu cabang Kartiko Jajan Pasar di Peneleh. Harus coba!


Di kampung Peneleh itu, kami juga melewati rumah masa kecil Bung Karno yang kini telah ditempati orang lain. Kami tidak berhenti disana berlama-lama, karena sungkan sama si pemilik rumah. Matahari mulai terik dan rombongan mempercepat langkah ke tujuan selanjutnya, Sekolah Sasana Bhakti di jalan Jagalan.

Menurut mas Zaenal, pemilik Hotel Djagalan Raya dulu bersekolah disitu. Sesampai di kawasan Sasana Bhakti, kami terkesan dengan fakta bahwa sekolah ini memiliki program belajar TK sampai SMA. Saya jadi ingat SD saya dulu di kawasan Gubeng yang menyatu dengan SMP dan SMA-nya. Betapa saya ingat dulu salah seorang teman sekelas pernah jadi primadona anak SMA gara-gara muka manis dan rambut hitam panjangnya. Betapa saya juga ingat dulu mbak-mbak SMA pernah memanggil saya dan teman, mengaku gemas, lalu memberi kami permen cokelat (anggep aja rejeki :p). Kira-kira seperti itu juga nggak ya di Sasana Bhakti?

Memasuki area sekolah (tentunya dengan izin Kepala Sekolah), kami disambut pemandangan anak-anak ABG cowok yang lagi main basket. Semakin ke belakang, kami disuguhi suasana belajar mengajar yang makin terlihat 'hidup'. Saya dan Dimach sempat mengintip ke salah satu kelas kosong dengan bangku kayu berukuran sedang. Sepertinya untuk kelas 1-2 SD. Salah seorang panitia menghampiri kami dan menunjuk kelas sebelah. "Yang ini bangkunya lebih original. Dari jaman Belanda." Mata kami menuju pada apa yang ditunjuk dan harus cepat berpaling karena sungkan dengan Pak Guru yang masih ada di dalam. Ya, benar. Bangkunya mirip dengan sekolah SD, SMP, dan SMA saya yang memang menempati bangunan tua (dan juga lengkap dengan cerita-cerita misterinya).


Studio Dewi Ballet ada di dekat sekolah Sasana Bhakti





Selesai melihat-lihat dan beristirahat sejenak di Sekolah Sasana Bhakti, kami berjalan kembali ke Hotel Djagalan Raya. Sebelumnya kami berhenti di Klenteng Pak Kik Bio yang merupakan salah satu klenteng beraliran Khonghucu di Surabaya. Klenteng yang selesai dibangun tahun 1951 ini menarik, meski bangunannya tidak seeksotis Klenteng Dukuh, tapi cukup menyajikan elemen-elemen budaya Cina yang lekat. Bau batang Hio yang dibakar sangat tajam di area klenteng ini. Di klenteng ini, mata saya juga sempat menangkap lemari berisi ramalan Jiamsi yang sempat saya coba di Klenteng Dukuh. Rasanya pengen mencoba lagi, tapi waktu belum memungkinkan. Memasuki halaman belakang klenteng, kami berdua bertemu dua ibu paruh baya yang menerangkan bahwa sejarah klenteng ini bisa ditemukan di ruangan sebelah. Kami langsung menuju ruangan yang ditunjuk beliau dan mencoba membaca 'prasasti' yang ditulis dengan ejaan lama.










Waktu menunjukkan pukul 10.30 dan kami menyelesaikan perjalanan dengan lesehan di ruang serba guna Hotel Djagalan Raya. Beberapa menikmati wedang poka yang disajikan panitia, beberapa kipas-kipas karena keringat yang tidak berhenti mengucur. Setelah membagikan giveaways dari sponsor, panitia menyudahi acara dengan melakukan foto bersama. Saya dan Dimach langsung menuju Kafetien 88 untuk mengisi perut. Kami sudah kelaparan :')

D-I-Y signage :) 
Teh Tarik dan Roti Kaya Keju. Yum!
Meja makan di Kafetien 88 Jagalan banyak ditempeli kata-kata bijak seperti ini

Kelar mengisi bensin di Kafetien 88, saya dan Dimach kembali ke rumah masing-masing. Saya panggil lagi jasa ojek online dan perjalanan sama-sama memakan biaya 20ribuan. Okey, terima kasih atas perjalanannya di hari itu, Teropong Pejalan!

Comments